BAB II
KERANGKA TEORITIK
2.2. Indepedensi
Definisi independesi dalam
The CPA Handbook menurut E.B. Wilcox adalah merupakan suatu standar auditing
yang penting karena opini akuntan independen bertujuan untuk menambah
kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen. Independen berarti
akuntan publik tidak mudah dipengaruhi. Akuntan publik tidak dibenarkan memihak
kepentingan siapapun. Akuntan publik berkewajiban untuk jujur tidak hanya
kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak
lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik (Christiawan,
2002) dalam (Elfarina, 2007).
Shockley (1981) dalam
Elfarina (2007) meneliti 4 faktor yang mempengaruhi independensi, yaitu :
1.
Persaingan
antar akuntan publik
2.
Pemberian
jasa konsultasi manajemen kepada klien
3.
Ukuran
KAP
4.
Lamanya
hubungan audit.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa KAP yang memberikan jasa konsultasi manajemen kepada klien
yang diaudit dapat meningkatkan risiko rusaknya independensi yang lebih besar
dibandingkan yang tidak memberikan jasa tersebut. Tingkat persaingan antar KAP
juga dapat meningkatkan risiko rusaknya independensi akuntan publik. KAP yang
lebih kecil mempunyai risiko kehilangan independensi yang lebih besar
dibandingkan KAP yang lebih besar. Sedangkan faktor lama ikatan hubungan dengan
klien tertentu tidak mempengaruhi secara sifnifikan terhadap independensi
akuntan publik.
Supriyono (1988) dalam
Wati dan Subroto (2003) telah melakukan penelitian mengenai independensi auditor
di Indonesia. Penelitian ini mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi
independensi auditor yaitu :
1.
Ikatan
keputusan keuangan dan hubungan usaha dengan klien
2.
Persaingan
antar KAP
3.
Pemberian
jasa lain selain jasa audit
4.
Lama
penugasan audit
5.
Besar
kantor akuntan
6.
Besarnya
audit fee.
Hasil penelitian Pany dan
Reckers (1980) menunjukkan bahwa hadiah meskipun jumlahnya sedikit berpengaruh
signifikan terhadap independensi auditor, sedangkan ukuran klien tidak
berpengaruh secara signifikan. Penelitian oleh Knapp (1985) menunjukkan bahwa
subyektivitas terbesar dalam teknik standar mengurangi kemampuan auditor untuk
bertahan dalam tekanan klien dan posisi keuangan yang sehat mempunyai kemampuan
untuk menghasilkan konflik audit.
2.2. Konflik
Peran
Konflik sebagai sebuah
proses yang dimulai ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah
memengaruhi secara negatif, atau akan memengaruhi secara negatf sesuatu yang
menjadi perhatian dan kepentingan pihak pertama.
Menurut Indah (2010)
seorang akan mengalami konflik peran jika ia memiliki dua peran atau lebih yang
harus dijalankan pada waktu yang bersamaan. Konflik peran adalah konflik yang
terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling
bertentangan. Hutami (2011) mengatakan bahwa konflik peran adalah orang-orang
yang memiliki pengharapan yang saling bertentangan atau tidak konsisten.
Konflik peran timbul jika seorang karyawan menghadapi tuntutan yang saling
bertentangan antara pekerjaan dan keluarga, misalnya wanita mengalami konflik
peran antara pekerjaan dan keluarga karena wanita pada hakikatnya sebagai ibu
yang mempunyai tanggung jawab terhadap suami dan anak.
Rosaputri (2012) para
karyawan yang belum menikah juga memiliki versi konflik peran sendiri yaitu
antara pekerjaan dan minat luarnya. Konflik peran dapat juga dialami ketika
internalisasi nilai, etika, atau standar pribadi bertentangan dengan harapan
orang lain sama halnya dengan konflik peran.
Menurut Rosaputri (2012)
konflik akan semakin mudah timbul bila indepedensi makin meningkat. Bila
interaksi menjadi semakin kerap dan melibatkan berbagai kegiatan dan hal-hal
yang semakin luas, peluang untuk munculnya ketidaksesuaian akan semakin besar.
Konflik dapat menunjang atau mengancam suatu hubungan tergantung dari cara
penyelesaiannya. Konflik dapat membantu seseorang untuk memperjelas dan
mengubah harapannya terhadap suatu hubungan serta konsepsi tentang dirinya dan
pasangannya.
Konflik peran muncul
ketika seseorang menerima pesan yang tidak sebanding berkenaan dengan perilaku
peran yang sesuai. Dari beberapa uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
konflik peran muncul ketika seseorang merasa kesulitan dalam menyesuaiakan
berbagai peran yang dimiliki dalam waktu bersamaan, misalnya peran seorang ibu
sebagai anggota partai politik yang harus bertanggung jawab dalam urusan partai
politiknya dan sebagai ibu tunggal bagi anak-anaknya.
2.3. Tekanan
Ketaatan
Tekanan ketaatan pada
umumnya dihasilkan oleh individu yang memiliki kekuasaan. Dalam hal ini tekanan
ketaatan diartikan sebagai tekanan yang diterima oleh auditor junior dari
auditor senior atau atasan dan entitas yang diperiksa untuk melakukan tindakan
yang menyimpang dari standar etika dan profesionalisme. Individu yang memiliki
kekuasaan merupakan suatu sumber yang dapat mempengaruhi perilaku orang dengan
perintah yang diberikannya (Jamilah,dkk., 2007). Hal ini dapat disebabkan oleh
keberadaan kekuasaan atau otoritas yang merupakan bentuk dari legitimate power.
Tekanan ketaatan dapat semakin kompleks ketika auditor dihadapkan pada situasi
konflik. Di satu sisi auditor harus bersikap independen dalam memberikan
pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan, akan tetapi di sisi lain auditor
juga harus dapat memenuhi tuntutan yang diinginkan oleh entitas yang diperiksa
agar entitas yang diperiksa puas dengan pekerjaannya. Tekanan ketaatan dapat menghasilkan
variasi pada kualitas audit dan memperbesar kemungkinan pelanggaran standar
etika dan profesional (Jamilah,dkk., 2007).
2.4. Moral
Judgment
Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores)
yang berarti kebiasaan, adat (Bertens, 1993). Shaffer dalam Ali & Asrori
(2008) mengemukakan bahwa moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang
berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi. Sementara menurut Rogers dalam Ali
& Asrori (2008) bahwa moral merupakan standar baik- buruk yang ditentukan
bagi individu oleh nilai- nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggota
sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya
dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang.
Menurut Menanti (2009), moral dapat dikaji dari sudut
pertimbangan moral (moral judgment).
Pertimbangan moral setiap individu dikembangkan agar mencapai perkembangan yang
optimal, yaitu mencapai pertimbangan moral tingkat pascakonvensional. Moral judgment yang mencapai tingkat
pascakonvensional tersebut rnempunyai peran sangat penting, yaitu individu akan
mampu mengambil keputusan- keputusan moral (keputusan baik-buruk, benar- salah)
yang memperhatikan kepentingan orang- orang lain secara luas, dan anak
terhindar dari suatu keputusan moral berwawasan sempit yang dapat merugikan
diri mereka sendiri dan orang lain. Di samping untuk menghindari suatu
keputusan moral yang dapat merugikan, individu akan lebih konsisten dalam
perbuatan mereka, sesuai dengan yang mereka pertimbangkan.
Ponemon (1990) dan Sweeney (1995) pada Hartanto dan
Kusuma (2001) berhasil menunjukkan bahwa tingkat perkembangan moral auditor
akan berubah seiring dengan perubahan posisi atau kedudukannya dalam kantor
akuntan publik. Semakin tinggi posisi dalam kantor akuntan publik, auditor
cenderung memiliki tingkat pertimbangan moral yang sangat rendah. Haidt (2001)
pada Paxton dan Green (2010) mendefinisikan moral reasoning sebagai aktivitas
kesadaran mental yang berisikan transformasi informasi masyarakat untuk
mencapai moral judgement.
Paxton dan Green (2010) mendefinisikan moral reasoning sebagai suatu tindakan
kesadaran mental melalui evaluasi moral judgment
selaras dengan komitmen moral, yang mana komitmen-komitmen tersebut merupakan
dari prinsip-prinsip dari moral judgment.
Green dan koleganya telah mengembangkan dual
process model alternatif dari moral jugment.
Green mengusulkan dua model moral
thingking yaitu ubiquitous dan qualititively. Berdasarkan moral Green moral
judgment digerakan oleh intuitive emotional responses dan controlled cognitive response.
2.5. Kualitas
Audit
De Angelo
(1981) mendefinisikan kualitas audit sebagai probabilitas dimana seorang
auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem
akuntansi kliennya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa KAP yang besar akan
berusaha untuk menyajikan kualitas audit yang lebih besar dibandingkan dengan
KAP yang kecil. Deis dan Giroux (1992) melakukan penelitian tentang empat hal
dianggap mempunyai hubungan dengan kualitas audit yaitu :
1.
Lama
waktu auditor telah melakukan pemeriksaan terhadap suatu perusahaan (tenure),
semakin lama seorang auditor telah melakukan audit pada klien yang sama maka
kualitas audit yang dihasilkan akan semakin rendah
2.
Jumlah
klien, semakin banyak jumlah klien maka kualitas audit akan semakin baik karena
auditor dengan jumlah klien yang banyak akan berusaha menjaga reputasinya
3.
Kesehatan
keuangan klien, semakin sehat kondisi keuangan klien maka akan ada
kecenderungan klien tersebut untuk menekan auditor agar tidak mengikuti standar
4.
Review oleh pihak ketiga, kualitas sudit akan meningkat jika auditor
tersebut mengetahui bahwa hasil pekerjaannya akan direview oleh pihak
ketiga.
Penelitian
yang dilakukan oleh Mayangsari (2003) menguji pengaruh independensi dan
kualitas audit terhadap integritas laporan keuangan. Hasil penelitian ini
mendukung hipotesa bahwa spesialisasi auditor berpengaruh positif terhadap
integritas laporan keuangan, serta independensi berpengaruh negatif terhadap
integritas laporan keuangan.
Widagdo
et al. (2002) melakukan penelitian tentang atribut-atribut kualitas
audit oleh kantor akuntan publik yang mempunyai pengaruh terhadap kepuasan
klien. Terdapat 12 atribut yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu 1)
pengalaman melakukan audit, 2) memahami industri klien, 3) responsif atas
kebutuhan klien, 4) taat pada standar umum, 5) independensi, 6) sikap
hati-hati, 7) komitmen terhadap kualitas audit, 8) keterlibatan pimpinan KAP, 9)
melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat, 10) keterlibatan komite audit, 11) standar
etika yang tinggi, dan 12) tidak mudah percaya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ada 7 atribut kualitas audit yang berpengaruh terhadap kepuasan klien,
antara lain pengalaman melakukan audit, memahami industri klien, responsif atas
kebutuhan klien, taat pada standar umum, komitmen terhadap kualitas audit dan
keterlibatan komite audit. Sedangkan 5 atribut lainnya yaitu independensi,
sikap hati-hati, melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat, standar etika yang
tinggi dan tidak mudah percaya, tidak berpengaruh terhadap kepuasan klien.
2.6. Pengembangan
Hipotesis
2.6.1. Pengaruh
Independen terhadap Kualitas Audit
Mayangsari
(2003) menemukan bahwa hasil pengujian hipotesis pertama dengan menggunakan
alat analisis ANOVA diperoleh hasil bahwa auditor yang memiliki keahlian dan independen
memberikan pendapat tentang kelangsungan hidup perusahaan yang cenderung benar dibandingkan
auditor yang hanya memiliki salah satu karakteristik atau sama sekali tidak
memiliki keduanya. Hasil pengujian hipotesis kedua dengan menggunakan uji Simple Factorial Analysis of Variance
diperoleh hasil bahwa auditor yang ahli lebih banyak mengingat informasi yang typical sedangkan auditor yang tidak
ahli lebih banyak mengingat informasi yang typical. Oleh karena itu, hipotesis
dalam penelitian ini :
H1:
Independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit
2.6.3. Pengaruh
Konflik Peran terhadap Kualitas Audit
Konflik peran
didefinisikan oleh Brief et al (dalam Amilin
dan Dewi, 2008) sebagai “the incongruity of expectations associated with a
role”. Jadi, konflik peran adalah adanya ketidakcocokan antara harapan-harapan
yang berkaitan dengan suatu peran. Secara lebih spesifik, Leigh et al. (dalam
Amilin dan Dewi, 2008) menyatakan bahwa: “Role conflict is the result of an
employee facing the inconsistent Expectations of various parlies or personal
needs, values, etc.” Artinya, konflik peran merupakan hasil dari ketidakkonsistenan
harapan- harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara
tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya. Sebagai
akibatnya, seseorang yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana
terombang-ambing, terjepit, dan serba salah. Konflik peran terjadi saat
munculnya peran-peran yang saling bertentangan yang harus dilakukan oleh
individu sebagai anggota dalam sebuah organisasi (Koo dan Sim, 1998). Hal itu
mengakibatkan individu yang mengalami konflik peran tidak dapat membuat
keputusan yang tepat mengenai bagaimana peran-peran tersebut akan dilakukan
dengan baik.
Penelitian
Reynold (2000) menyimpulkan bahwa pertentangan yang terjadi karena peran audit
dan peran konsultasi pada auditor internal merupakan subjek konflik. Dalam
peran audit auditor internal harus menjaga independensi dengan tidak
mendasarkan pertimbangan auditnya pada manajemen. Namun dalam peran jasa
konsultasi manajemen, auditor internal harus bekerja sama dan membantu
manajemen, termasuk menerima pertimbangan dari komite audit (Ahmad dan Taylor,
2009). Auditor internal juga dapat mengalami personal role conflict, seperti ketika diminta untuk berperan dalam berbagai
cara yang tidak konsisten dengan nilai-nilai pribadi mereka atau diharuskan
bertindak melawan serta melaporkan pelanggaran rekan kerja mereka.
Menurut
Mutchler (2003), auditor internal cenderung akan mengabaikan, melunak, atau
menunda pelaporan temuan audit yang berdampak negatif supaya tidak
mempermalukan rekan kerja mereka. Dengan demikian, personal role conflict
mengindikasikan ketidaksesuaian antara harapan manajemen dan nilai personal
auditor internal (Ahmad dan Taylor, 2009). Hal ini menyebabkan kemungkinan
auditor diharuskan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai
atau keyakinan individu auditor intenal tersebut, seperti melakukan perbuatan
yang ilegal atau tidak etis. Konflik peran yang dialami oleh auditor dapat
merusak kemampuan auditor untuk melakukan audit yang wajar (Koo dan Sim, 1999).
Apabila auditor mencoba untuk tetap mempertahankan sikap etis profesional
mereka, maka akan membahayakan posisi auditor internal tersebut, sehingga auditor
menjadi rentan terhadap tekanan dari manajemen dan mengakibatkan menurunnya
komitmen independensi (Koo dan Sim, 1999). Berdasarkan uraian di atas, dapat
dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
H2
: Konflik peran berpengaruh negatif terhadap kualitas audit
2.6.3. Pengaruh
Tekanan Ketaatan terhadap Kualitas Audit
Dalam
melaksanakan tugas audit, auditor secara terus menerus berhadapan dengan dilema
etika yang melibatkan pilihan antara nilai-nilai yang bertentangan
(Jamilah,dkk., 2007). Auditor berusaha untuk memenuhi tanggung jawab
profesionalnya, tetapi disisi lain dituntut pula untuk mematuhi perintah dari
entitas yang diperiksa maupun dari atasannya. Semakin tinggi tekanan yang dihadapi
oleh auditor, maka penilaian yang diambil oleh auditor cenderung kurang tepat.
Berdasarkan teori motivasi X dan Y, seorang individu yang mendapat tekanan
ketaatan dari atasan maupun entitas yang diperiksa akan cenderung termasuk
dalam tipe X, bahwa mereka akan mengambil jalan yang aman dan bersikap disfungsional.
Hal ini akan mengakibatkan auditor tidak mampu membuat menilai yang baik dan
tepat. Dalam teori penentuan tujuan juga dijelaskan auditor yang tidak
mengetahui dengan pasti tujuannya biasanya cenderung mudah menuruti perintah
dari atasan dan entitas yang diperiksa untuk berperilaku menyimpang dari
standar etika dan profesional. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian
Hartanto (2001), Jamilah,dkk. (2007). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H3
: Tekanan ketaatan berpengaruh negatif terhadap kualitas audit
2.6.4. Pengaruh
Moral Judgment terhadap Kualitas
Audit
Akuntan
professional dalam menjalankan tugasnya memiliki pedoman- pedoman yang mengikat seperti kode
etik akuntan Indonesia. Sehingga dalam melaksanakan aktivitasnya, akuntan memiliki
arah yang jelas dan dapat memberikan keputusan yang tepat dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan pihak-pihak lain yang menggunakan
keputusan auditor. Akuntan mampu
menghasilkan keputusan yang etis, dibutuhkan beberapa variabel terkait
yang dapat mempengaruhi pemikiran dan idealism akuntan dalam bertindak beberapa
diantaranya adalah moral reasoning, moral judgement
yang menggiring pemikiran auditor dalam bertindak etis, karena mampu membedakan
mana yang etis dan tidak etis (Deasy, 2013). Berdasarkan uraian tersebut maka
hipotesa yang dirumuskan adalah :
H4:
Moral judgment berpengaruh signifikan
terhadap kualitas audit